Ada yang tahu apa itu CITS-UGM?
Tidak?
CITS adalah program kuliah satu tahun. Singkatannya Center for Instrumentation and Technical Services. Tidak ada yang tahu?
Wajar, karena kayaknya sekarang CITS-UGM sudah tidak ada. Tapi aku akan menceritakannya. Mungkin ini bukanlah tempat kuliah terbaik, tapi ketahuilah ini menjadi salah satu lompatan penting yang mengubah perjalanan hidupku.
Awal 2002. Ceritanya bermula saat temanku SMA yang beda kelas menanyakan apakah aku mendapatkan surat dari CITS-UGM yang menawarkan beasiswa. Dia menanyakan karena beasiswa itu ditujukan bagi siswa yang selama kelas satu sampai tiga selalu pada peringkat sepuluh besar di kelasnya. Dan aku salah satu siswa yang ada di posisi itu. Aku menjawab tidak, tapi kalau beasiswa dari STIMIK-AKI Semarang iya. Aku ingat betul, saat itu promosinya menggunakan Agnes Monica sebagai brand ambassadornya. Biasanya memang selalu begitu, ketika mendekati kelulusan, banyak tawaran beasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi. Entah bisa dapet informasi siswa-siswa dengan peringkat sepuluh besar dari mana. Katanya dia juga mendapatkan dari STIMIK-AKI juga, tapi dia benar-benar tertarik dan penasaran dengan CITS-UGM.
Temanku masih ragu apakah CITS-UGM itu beneran atau bagian dari sebuah penipuan. Masalahnya adalah program yang ditawarkan adalah D1 alias cuma satu tahun. Dan terus terang, aku dan termasuk keluargaku nggak ada yang paham kalau ditanyakan seputar kuliah. Istilah S1 dan D3 saja aku masih nggak paham, apalagi D1. Padahal sudah dijelaskan dari BK. Bagiku yang terpenting kuliah, hehe.. aku benar-benar orang yang udik. Tapi meskipun aku nggak paham seputar dunia Perguruan Tinggi, tapi aku tertarik dengan CITS-UGM. Dan tahukah apa yang membuatku tertarik? Yaitu embel-embel UGM. Siapa yang nggak kenal UGM? Siapa saja kalau ditanyakan kuliah di mana, maka akan sangat membanggakan bila menjawab; aku kuliah di UGM.
“Daripada meragukan, bagaimana kalau saat bimbingan belajar untuk SPMB (sekarang namanya SNMPTN) di Jogja kita datangi saja” kata temanku. “Baiklah” jawabku. Rupanya dia nggak mau menjadi orang yang ditipu sendirian seandainya program itu adalah bohong 🙂
Maka, setelah UNAS, temenku bimbel di Gama Exacta di Gedung Kuning, sementara aku di NEUTRON Jl. Taman Siswa. Entah aku lupa bagaimana saat itu kita bisa janjian ketemuan bareng-bareng mendatangi CITS-UGM, padahal waktu itu nggak ada hape. Setelah nanya-nanya orang dimanakah Jl. Teknika Utara Gedung PAU-Pasca Sarjana UGM, akhirnya ketemu. Waaw, disinikah tempat kuliahnya? Berada di gedung pasca sarjana yang keren diantara MM-UGM dan gedung melengkung dengan jembatan yang ada pertemuan lengkungan seperti garis gradien parabola dan monumen seperti susunan lintasan atom-atom yang bisa berputar. Kami sedikit kesusahan mencari di mana tempatnya CITS-UGM. Ternyata tempatnya berbaur dengan gedung kedokteran tropis-biologis, aduh aku lupa namanya. Kayaknya namanya itu 🙂
Ruangan untuk administrasi pendaftaran dan lain-lain, berada di ruang yang disekat dengan papan triplek. Setelah yakin nggak yakin, temanku akhirnya berminat dan menerima tawaran beasiswa tersebut. Saat itu hanya temanku itu yang kujadikan acuan untuk kuliah setelah SMA. Jadi aku pun akhirnya berminat juga dengan modal fotokopian nilai rapor dari kelas 1 sampai kelas 3 CAWU II (dulu singkatan dari Catur Wulan, lucu banget yah?) Karena dengan modal 10 besar, sudah langsung otomatis diterima tanpa tes, tapi nggak dapat beasiswa. Aku ingat betul berapa total biaya pendaftaran, administrasi (jas, KRS, kartu mahasiswa) plus biaya SPP semester pertama, yaitu Rp 700.000,- Yang menarik adalah jika SPMB diterima, dan siswa yang bersangkutan akhirnya memilih kuliah sesuai dengan yang diterima dari SPMB, maka semua uang tersebut dikembalikan. Dan setelah itu langsung otomatis mendapatkan surat sudah terdaftar menjadi mahasiswa CITS UGM. Wow!
Temanku mengambil jurusan Teknik Elektronika sedangkan aku meskipun anak exact tulen, namun kata hatiku mantap mengambil jurusan Desain Grafis. Aku merasa jurusan ini sangat menjanjikan meskipun saat itu belum populer. Dan benar saja, di awal tahun 2005 jurusan desain grafis mulai membanjiri. Sejumlah perguruan tinggi pun mulai banyak membuka jurusan baru desain grafis.
Saat sampai di kos, aku perlihatkan surat pernyataan itu ke teman-teman seperjuangan bimbel untuk menunjukkan bahwa statusku sudah mahasiswa. Mereka tak bisa mengejekku Sarjana Umbah-umbah lagi (lebih detailnya, baca postingan Sarjana Ojek https://husnimuarif.wordpress.com/2011/07/20/sarjana-ojek/) Dan kalimat Menimbang – Mengingat – Memutuskan menjadi kalimat yang membuat mereka iri sehingga mereka pun akhirnya ikut-ikutan mendaftarkan diri ke CITS. Tiga temanku dengan bangga menunjukkan kalau status mereka sudah mahasiswa, 2 Teknik Informatika dan 1 Teknik Elektro.
Dan dari mereka akhirnya aku tahu ternyata tes Gelombang 1 dan Gelombang 2 tidak ada. Ini adalah program pertama, siapapun yang mendaftar langsung otomatis mendapat surat pernyataan terdaftar sebagai mahasiswa CITS-UGM. Inilah yang membuat aku dan teman-temanku yang awalnya bangga, menjadi sangsi akan program satu tahun ini.
Waktu pun mendekati SPMB. Dan sialnya saat balik ke Jepara untuk kelulusan, aku terkena herpes di mata (lihat postingan https://husnimuarif.wordpress.com/2009/10/29/help-help-herpes/) Kembali ke Jogja, lalu ujian SPMB ke Semarang dengan segudang penderitaan dan penyakit herpes di mata, tak hanya mengganggu konsentrasiku dalam mengerjakan tes SPMB, tapi aku menjadi pusat perhatian. Aku seperti Panda, dan seratus persen aku tak yakin bisa lolos SPMB. Kata psimisku seolah mantra, dan benar namaku tak tertera di sederetan font kecil pengumuman SPMB yang tercetak di koran. Satu-satunya harapanku adalah menjadi mahasiswa CITS-UGM. Tapi sayangnya dari saudara keponakan banyak yang tak setuju. Program satu tahun? Nanggung banget! Mereka menyarankan aku untuk mencoba D3. Akhirnya aku ke Undip Semarang bersama temanku yang sudah terdaftar di CITS-UGM namun keluarganya nggak setuju dan dia sendiri juga nggak yakin.
Sampai di Semarang mulailah mencari-cari informasi program D3. Aku dan temanku menginap di Tembalang, di kosnya temanku yang sudah diterima di jurusan Peternakan dari jalur PMDK. Di Undip aku sangat berencana masuk Teknik Arsitek, tapi tak ada yang D3. Yang ada hanyalah Program Ekstensi. Dan lagi-lagi aku nggak mudeng Ekstensi itu apa. Yang aku tahu itu program S1 4 tahun diluar jalur SPMB. Biaya pendaftarannya sangat mahal, hingga akhirnya lama-lama aku paham program Ekstensi itu apa. Bayarnya mahal.
Saat ujian Ekstensi aku berangkat pagi-pagi sekali langsung dari Jepara. Sudah pagi pun, aku tetap saja telat! Bus yang kutumpangi ketika transit seolah tak niat berjalan hingga ingin rasanya aku sendiri yang menyupirnya. Sudah setengah jam lebih aku terlambat. Karena tak tahan aku turun dari bus dan berlari melewati persawahan yang terjal. Aku tiba di ruangan bermandikan keringat. Meski diperbolehkan untuk ikut ujian, namun keringat ini terus mengucur hingga akhirnya membasahi lembar jawaban komputer. Aku sampai minta ganti lembar jawaban ke pengawas ujian. Soal kukerjakan dengan mudah. Mudah sekali. Aku sudah sangat mblenger mengerjakan soal-soal SPMB. Meski waktuku hanya sedikit, tapi aku bisa menyelesaikannya.
Dari perjuanganku itu aku diterima. Ibuku sangat senang sekali, dan akan memenuhi nadzarnya untuk ziarah ke Sunan Kudus. Tapi kakakku nggak setuju kalau aku kuliah Ekstensi. Masalahnya adalah biayanya sangat mahal. Tapi ibuku sanggup membiayainya. Aku jadi bingung, pilih Teknik Arsitek Undip atau CITS-UGM? Ekstensi mahal, meski ibuku sanggup membiayainya, tapi aku merasa tak tega. Sedangkan CITS-UGM biayanya sudah dibayar sebagian, tapi kuliahnya cuma satu tahun selesai. Mana yang sayang untuk dilepas?
Tiba-tiba saja ada kalimat dari kakakku yang membuatku akhirnya memilih pilihan itu. Aku ingat sekali apa yang terlontar dari mulut kakakku: “Kalau CITS UGM dilepas, berarti lenyap dong 700 ribu? Itu bisa buat modal buka warung gado-gado” Kalimat sepele yang mungkin tak ada artinya dan bisa keluar dari mulut siapa saja, tapi entah kenapa tiba-tiba sangat menusuk bagiku. Tak pernah sekalipun dia berkata tentang kewirausahaan yang saat itu akupun belum paham. Dari kalimat itulah akhirnya aku memutuskan memilih CITS-UGM. Pak Dhe-Bu Dhe, Pak Lik-Bulik, saudara keponakan pada menghujatku dan menganggapku bodoh. Sebuah perjuangan berat yang akhirnya dilepaskan begitu saja. Namun aku bilang ke mereka kalau aku akan nyambi bimbingan belajar di NEUTRON lagi untuk persiapan ikut SPMB 2003. Mereka mengerti.
Selanjutnya temanku yang mendapatkan beasiswa dari CITS-UGM akhirnya melepaskan uang 700 ribu-nya karena keterima di STAN. Aku ingat saat dititipin untuk mengambil jas almamater CITS-UGM daripada sayang nggak diambil. Teman-temanku yang sudah terdaftar menjadi mahasiswa CITS-UGM pun tak ada yang mengambilnya, karena keluarganya tak ada yang setuju. Lalu aku bismillah saja berjuang sendirian menjalani program satu tahun yang tak tahu kejelasan rimbanya. Sebuah pilihan yang penuh resiko, dan semua gara-gara “warung gado-gado”.
Awal masa orientasi pun terlihat sangat wah. Semua mahasiswa CITS-UGM dengan bangga memakai jas almamater dan berkumpul di MM-UGM. Dan benar, ternyata kami adalah angkatan pertama. Sambutan dari Direktur Program dan Kepala Bagian begitu meyakinkan. Tak ada ospek, dan aku baru tahu apa itu ospek saat anak-anak kos baru, pagi-pagi sudah kewalahan dan sibuk sendiri. Kelihatannya kasihan, tapi itu membuatku iri. Setelah ospek mereka saling bercerita tentang pengalaman dan kelucuannya saat diospek, sementara aku hanya bisa manyun. Aku merasa sepertinya aku salah ambil keputusan dan tak ada yang bisa dibanggakan kuliah di sini. Setiap orang yang menanyakan “Masnya, kuliah di mana?” maka agar kelihatan bisa sombong dikit aku jawab “cits.. UGM!” Mengecilkan suara CITS dan mengeraskan UGM-nya ha-ha…
Perkuliahan pun dimulai meski bagi sebagian mahasiswa merasakan tak tampak seperti sedang kuliah. Terlebih aku yang seharusnya masuk jurusan exact. Tak ada Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Namun ada beberapa mahasiswa yang berinisiatif untuk membentuk organisasi kerohaniawan. Namanya OKI atau UKI, aku lupa, yang jelas itu seperti AAI atau Asistensi Agama Islam di UGM. Mereka sangat bersemangat meski yang kulihat baru membuat mading dakwah yang ditempel di mushola. Keseluruhan perkuliahan adalah 80% praktek dan 20% teori. Di jurusan desain grafis mulai dikenalkan dasar-dasar dari titik, garis, bentuk, dll yang bagi sebagian mahasiswa tampak seperti pelajaran menggambar TK. Namun disinilah aku mengenal apa yang namanya Nirmana dan Komputer terutama Komputer Grafis. Program grafis pertama yang kukenal adalah COREL 10. Dan aku mulai keranjingan. Buku Corel yang hanya ada satu di perpustakaan jadi rebutan.
Sepertinya bakatku menemukan tempatnya. Waktu ujian Mid Semester dan Ujian Semester 1 aku menyelesaikannya dengan baik hingga nilainya Cum Laude. Meskipun saat itu aku nggak paham Cum Laude itu apa 🙂
Masuk ke Semester 2 sudah mulai menyusun Tugas Akhir (TA), cepet banget kan? Disinilah perhatian dan fokusku terpecah menjadi dua, TA dan SPMB part 2. Beruntung aku dapat me-manage dengan baik meskipun akhirnya SPMB yang kedua ini akhirnya gagal lagi. Hey, aku bisa mengerjakan semua soal dengan mudah, you know?. Dan dari pengerjaan TA inilah aku jadi mengenal perancangan komunikasi visual dan advertising. Aku mengenal analisis pasar, analisis data, identifikasi brand, dsb. Saking seriusnya aku cari data-data itu dari beberapa Majalah Informasi & Peluang Bisnis, SWA, dan internet. Dan yang paling menarik adalah aku bisa memunculkan inovasi baru dan ide yang sangat mungkin diterapkan pada brand tersebut. Refisi demi refisi terasa sangat seru dan menyenangkan saat itu.
Produk yang aku angkat adalah minuman berenergi, Milo dari produk Nestlé. Aku kembangkan minuman berenergi itu tidak hanya sebagai minuman sportif tapi juga minuman rileksasi. Milo tidak hanya memunculkan energi yang biasanya diperlukan saat beraktifitas, tapi juga bisa memunculkan energi “romantic” saat orang bersantai bersama someone special. Saat itu muncul Milo 3 in 1 yang di-mix dengan gula dan Dancow. Sebelumnya saat menjadi anak kos baru, aku memiliki kebiasaan bikin Milo dicampur sama kopi. Melihat Milo 3 in 1 tersebut, tiba-tiba kepikiran ide untuk bikin Milo di-mix dengan kopi instant Nescafe yang sama-sama produknya Nestlé. Dan jadilah yang namanya Milo Romance. Sebuah pemilihan nama yang keren, padahal saat itu aku belum mengenal yang namanya copywriting. Font-nya pun keren, meskipun saat itu aku belum mengenal font jenis Script yang mengesankan sifat pribadi yang akrab. Untuk elemen grafisnya aku kasih ilustrasi dua sejoli dan mawar kuning sebagai ikon pendukung. Dan memasukkan mawar kuning ke dalam huruf O pada MILO adalah tindakan yang sangat berani. Untuk ilustrasinya aku meniru polesan kuas ala Alex Ross di komik Kingdom Come, meskipun nggak bisa sebagus itu 🙂 Aku mengerjakan dengan semangat sehabis subuh sambil mendengarkan lagu The Beatles yang diputar di radio Yasika setiap hari jam 5 pagi (kecuali hari minggu) oleh penyiarnya Mas Rocky.
Tak disadari ternyata aku sudah belajar jauh tentang Desain Grafis, Copywriting, Advertising, and also Strategic Planning.
Untuk mendesain packaging dalam bentuk embalage aku harus menggabungkan beberapa desain yang disimpan di lebih dari 10 disket. Dari disket-disket itu aku gabung dan aku simpan dulu di rental komputer milik dosen pembimbingku, Pak Kuncoro. Maklum saat itu untuk burning CD plus CD-nya saja harus merogoh kocek Rp.25.000. Uangku aku prioritaskan untuk biaya print yang per lembar harganya Rp.50.000 ukuran A3, kertas glossy. Ada 3 karya yang harus diprint lalu dibingkai untuk pameran pas acara wisuda. Celakanya saat aku mau ambil file yang sudah tersusun untuk di-burning di CD, file-file di rental komputer itu sudah dihapus. Padahal aku perlu file itu untuk lampiran TA. Akhirnya karya yang sudah diprint dipotret pakai kamera digital lalu dimasukin dan diedit ke Corel. Karena tak ada scan ukuran A3 saat itu. Untung dosenku punya kamera digital. Dan tahukah berapa harga kamera digital saat itu? 5 – 8 juta 🙂 Tak kebayang sekarang harganya ada yang kurang dari sejuta dengan kualitas yang lebih bagus daripada kamera digital saat itu.
Pendadaran pun berlangsung seru, penuh dengan debat dan saling mempertahankan pendapat. Saat itu yang menguji adalah Pak Affandi, dosen Pendidikan Seni UNY-Pencipta logo UAD. Saking serunya sampai nggak kerasa sudah sejam lebih nggak selesai-selesai. Mahasiswa yang lain yang sedang menunggu giliran sampai heran sebenernya apa yang dibicarakan? Setelah pendadaran, masih juga ada revisi, padahal beberapa hari lagi wisuda. Sungguh perfeksionis Pak Affandi ini, meskipun ini angkatan pertama yang seharusnya dimudahkan.
Ketika semuanya beres tibalah saatnya untuk menjilidnya menjadi sebuah karya Tugas Akhir. Saat itu Pak Kuncoro sempat membandingkan karya TA-ku dengan karya Skripsi mahasiswa UNY yang menjadi panduan referensi. Katanya karyaku justru jauh lebih baik daripada mahasiswa S1 tersebut 🙂 Dan ada kalimat yang terlontar dari mulut beliau “Kalo bisa membuat karya Tugas Akhir yang bagus kayak gini, kenapa harus kuliah lama-lama sampai sampai empat tahun ya?” Iya-ya hehe… Saat itu sampai sempat kepikiran mau bikin stiker C1TS, singkatan dari Cuma 1 Tahun Saja, hehe..
Acara wisuda pun tiba dan diselenggarakan dengan sangat wah di gedung Grha Sabha Pramana UGM, sehingga membuat orangtua siapa saja yang ada di situ bangga. Teman-teman kosku pun pada iri. Terutama yang sedang ngerjain TA nggak kelar-kelar. Baru aja setahun sudah wisuda? Wow, keren banget. Upacara penyematan pun berjalan sangat sempurna. Tidak ada kecacatan wisudawan yang salah tempat duduk dan sebagainya. Semua sudah diatur dengan rapi. Setelah prosesi wisuda selesai, para tamu undangan bisa melihat pameran karya anak Desain Grafis dan Teknik elektro yang dipajang di gedung GSP sambil menikmati makanan prasmanan dan foto-foto.
Foto waktu wisuda di depan karya
Sekalipun terlihat sempurna, namun ternyata ada sedikit kecacatan. Beberapa hari setelah wisuda, peserta yang sudah memenuhi syarat administrasi bisa mengambil buku wisuda. Kebetulan temanku ada yang sudah mengambilnya. Saat aku melihat buku wisuda tersebut, ternyata aku yang terbaik dengan nilai tertinggi di jurusan Desain Grafis. Ealah, seharusnya aku yang berada di deretan depan mahasiswa predikat Cum Laude saat acara wisuda 🙂 Selidik-selidik ternyata saat acara wisuda berlangsung, nilai TA dari Pak Affandi belum keluar. Tapi aku bangga dengan pencapaianku itu.
Dari CITS-UGM inilah yang menjadi modal terbesarku di D3 Advertising Komunikasi UGM. Setelah pengumuman SPMB dan gagal, aku sangat frustasi. Bagaimana tidak? Sudah persiapan bimbel matang-matang tapi tidak keterima juga. Aku disarankan temanku untuk mencari program D3. Dan gara-gara TA-ku di CITS UGM itulah yang akhirnya membulatkan keputusanku untuk mengambil jurusan Advertising. Dan aku bisa masuk ke D3 Advertising tanpa modal apa-apa. Ilmu sosial tahu apa aku? Yang lebih parah lagi adalah saat ujian masuk D3, soal yang berjumlah 100 hanya aku isi sekitar 70-an, karena saat SPMB aku terlalu terbiasa dengan sistem nilai benar +4 salah -1, jadi harus cermat dan hati-hati. Padahal di lembar soal paling depan instruksinya disuruh mengisi semua dan tak ada sistem benar +4 salah -1. Tambah stres-lah aku ketika baru menyadarinya setelah selesai mengerjakana ujian. Aku hanya teringat waktu pendaftaran ke Gedung Biru Fisipol UGM (sekarang sudah nggak ada, jurusan advertising juga sudah nggak ada, hehe) aku berdoa “Ya Allah, ayolah… D3 Advertising memerlukan orang seperti aku…”
Masa itu adalah masa-masa depresi karena aku sudah yakin nggak bakal diterima. Untuk menenangkan diri, aku pulang ke Jepara dan menceritakan semua yang terjadi kepada keluargaku. Aku sudah pesan teman kosku yang di Jogja untuk membelikan koran KR pada tanggal pengumuman. Saat aku telpon dari Jepara, katanya tidak ada pengumuman di koran KR hari itu. Ah, sudahlah, sudah jelas-jelas nggak bakalan diterima. Esoknya aku kembali ke Jogja karena aku memutuskan untuk masuk Ekstensi Pendidikan Seni Rupa di UNY bermodal sertifikat dari CITS-UGM. Memang ada kemudahan dan kerja sama dengan pihak UNY saat itu. Sampai terminal Terboyo Semarang, aku masih tak percaya kalau tak ada pengumuman D3 UGM di KR kemarin. Akhirnya aku memutuskan membeli koran KR tanggal sebelumnya di terminal Terboyo. Dan kebetulan ada orang baik yang mau mencarikannya. Dan ada. Aku buka perlahan-lahan koran itu… lembar demi lembar… Ternyata temanku benar, tidak ada pengumuman D3 UGM pada tanggal itu.
Sampai Jogja aku langsung tidur seharian di kamar. Paginya, aku bersiap-siap akan mendaftar ke UNY. Sebelum berangkat, tiba-tiba ada teman kosku yang baru saja pindah kos datang untuk main. Dia menyalamiku sambil bilang “Selamat yah… tolong aku dikenalin cewek-cewek Fisipol” Aku merasa hari-hariku semakin aneh dan membingungkan. “Loh, kok kamu nggak ikutan ospek? Bukannya ospeknya serentak?”. “He?!!” lawakan macam apa ini? Kebetulan saat itu dia membawa koran KR yang ada pengumuman D3 UGM. Dia punya koran itu karena adiknya juga mendaftar di jurusan Geografi, dan diterima. Ternyata pengumumannya 3 hari sebelum pengumuman yang tertera pada brosur-nya. Pantas saja di koran KR yang aku beli tidak ada. Dibukalah koran itu dan digaris bawahi-lah namaku yang tertera di situ.
Segera aku meluncur ke Fisipol melewati mahasiswa-mahasiswa yang sedang ospek dan langsung menuju bagian administrasi di Gedung Biru. Dari bagian administrasi mengatakan kalau informasi pengumuman di brosurnya salah. Dan Alhamdulillah, aku masih bisa daftar ulang disaat yang lain sedang diospek. Doaku dikabulkan dengan cara yang… Ya Allah, Kau pandai bercanda 🙂
Dengan modal apa yang diajarkan di CITS-UGM aku selangkah lebih maju daripada yang lainnya dan bisa menyelesaikan semua mata kuliah dengan sempurna. Kalau saja tidak ada CITS-UGM mungkin aku tak bisa apa-apa saat itu. Dan mungkin sampai sekarang. Aku selesaikan kuliahku dengan predikat Cum Laude. Dulu waktu aku wisuda CITS yang seharusnya berada di deretan wisudawan yang Cum Laude, akhirnya terbayar sudah. Tak hanya Cum Laude, aku juga yang terbaik jurusan. Orangtuaku sangat bangga meskipun ibuku tak tahu apa itu Cum Laude, yang dia tahu adalah pokoknya rangking satu 🙂 Aku bahkan sudah mulai kerja di petakumpet sebelum aku diwisuda. Dan layaknya di film-film inilah happy ending…
So, apapun kondisimu selama kau bisa meninggalkan atsar yang baik, maka kau bisa menjadi yang terbaik, tak peduli dimanapun itu tempatnya. (lihat postingan menjadi yang terbaik dengan meninggalkan atsar yang baik https://husnimuarif.wordpress.com/2012/11/14/menjadi-yang-terbaik-dengan-meninggalkan-atsar-yang-baik-2/) CITS-UGM mungkin bukanlah tempat kuliah favorit dan terkenal, siapa sih yang pernah mendengarnya? Tapi aku merasa bangga bisa menjadi alumni di sana. Bahkan aku bangga untuk menyebutkan kalau aku adalah alumni CITS tanpa menggunakan embel-embel UGM. Berapa banyak mahasiswa yang bangga kuliah di UGM dengan mengeluarkan biaya yang tak sedikit, namun tidak bisa meninggalkan bekas (atsar) yang terbaik? Berapa banyak orang yang bangga bekerja di perusahaan terkenal dengan gaji tinggi? Ha? Dulu ibuku ingin sekali aku menjadi PNS atau pegawai bank, tapi atsar apa yang bisa kutinggalkan? Kadang banyak orang bangga dengan pendapatan yang kita dapat, tapi pedulikah mereka apakah rejeki itu bisa memberi manfaat bagi orang lain? Atau yang lebih penting lagi apakah rejeki itu barokah atau tidak? Tak perlu malu dengan kondisimu yang mungkin penuh keterbatasan. Kita bisa bangkit dengan keterbatasan itu selama ada niat yang besar untuk melakukan yang terbaik dan bisa meninggalkan jejak yang baik pula.
Kok dadine malah koyok motivasi yo? 🙂
Sembilan tahun berselang, dan aku mencoba untuk mengontak teman-teman CITS-UGM yang ada di Jogja untuk reuni setelah Lebaran pada tahun 2011 lalu. Tak lama setelah itu, aku ajak temanku CITS, Bosiran untuk mendirikan usaha kuliner TELAP12. Bisa dikatakan TELAP12 ini terpengaruh oleh TA-ku di CITS-UGM. Aku adalah orang yang suka memodifikasi apapun. Kalau pas TA aku memodifikasi produk Nestlé, Black Innovation Awards aku memodifikasi standar, sekarang di TELAP12 aku memodifikasi produk indomie. Dan masih banyak lagi. I’m the modification man 🙂
Dan di TELAP12 inilah aku bisa bertemu dengan teman-temanku di Desain Grafis CITS-UGM dulu. Bulan Juni lalu aku meminjam buku wisudanya Budi, teman dekatku dan juga partnerku di CITS-UGM dulu. Aku mau men-copynya untuk sekedar bernostalgia dan mau aku posting di blog (ealah, lama bangeet..mostingnya). Entah aku lupa apa sebabnya dulu aku selalu mengurungkan waktu untuk mengambil buku wisuda itu hingga akhirnya nggak kuambil-ambil.
Aku lihat fotoku di buku wisuda itu. Ya Allah, dengan kumis lele tipis yang wagu seperti itu, aku seperti orang di jaman era 70-an. Aku mencoba membandingkan fotoku dengan rambut yang sama pada tahun 2012. Tampaknya sekarang aku tampak lebih muda. Aku seperti dalam film Benjamin Button ha-ha….